Mengejar RUTINITAS tanpa VISI


MENGEJAR RUTINITAS TANPA VISI
ETIKA KEPEMIMPINAN KRISTEN MASA KINI
By: Kamser M. Sitanggang

PENDAHULUAN
Adalah menjadi pemandangan umum dalam kepemimpinan Gereja dewasa ini, jika pada umumnya Gereja bergerak tanpa dilandasi oleh Visi yang jelas. Kegiatan keagamaan berjalan seremonial dan begitu banyak moment-moment yang digagas oleh Gereja berjalan tidak lebih dari Perayaan Keagamaan belaka tanpa ada sesuatu yang hendak diraih sebagai sebuah Visi yang besar dan berkelanjutan.

Kita harus mengevaluasi minset berfikir kita bilamana tolak ukur keberhasilan sebuah kegiatan selalu diukur dari jumlah massa yang hadir, tidak peduli  apakah itu karena mobilisasi massal, doorprize, promo-promo menarik dengan melibatkan para Artis dan konsumsi yang disediakan panitia. Kata SUKSES akan  muncul dari mulut para pemimpin dan suratkabar bilamana acara itu berlangsung meriah karena dimeriahkan oleh para artis sementara jemaat kekeringan dan tidak mengerti apa-apa tentang makna dan hakekat acara tersebut.
Kurang lebih sudah 150 tahun Kekristenan berada di Sumatera Utara dan telah melahirkan banyak denominasi Gereja bercorak tradisi seperti HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP, GMI, GPIB belum ditambah lagi  dari berbagai aliran pentakosta. Usia yang 150 tahun tersebut dirasa sudah cukup matang dan seharusnya sudah harus leading dalam hal pelayanan holistik kepada masyarakat dibanding dengan  denominasi-denominasi atau lembaga Gerejawi lainnya  yang berkembang belakangan.
Dengan mengevaluasi perjalanan Kekristenan di Sumatera Utara tentu kita akan teringat pada sosok DR. I.L Nomensen (Rasul Orang Batak), yang telah berkorban dengan luar biasa, menghadapi berbagai tantangan dan bahkan hampir mati ketika memulai pelayanannya untuk membawa bangsa batak keluar dari kegelapan menuju terang kasih Tuhan. Beliau juga telah  meletakkan dasar dasar yang kuat bagi pelayanan Gereja  terutama HKBP, dalam bidang Kerohanian, Pendidikan, Kesehatan, Sosial-ekonomi, Persekutuan keluarga dan yang telah berusaha mentranformasikan nilai-nilai kehidupan masyarakat Batak dari bangsa yang brutal, pemarah, penyembah berhala kepada nilai-nilai Kejujuran, kasih, pekerja keras, disiplin, ber-integritas dan nilai-nilai lainnya.
Untuk bisa melangkah  maju, dan melanjutkan cita-cita DR. I.L Nomensen maka selayaknya sebuah organisasi yang sudah tua, maka ada baiknya Gereja  mengevaluasi dan merefleksikan buah-buah pelayanan yang telah dihasilkan selama ini, apakah sudah berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau malah mengalami degradasi. Tentu penilaian akan keberhasilan dari sebuah pelayanan harus dilakukan secara objektif dimana Alkitab sebagai sumber pengajaran menjadi standar ukurannya. Selama ini kita banyak dibuai dengan slogan “Gereja Nabolon i” (Gereja yang Besar) yang dinilai berdasarkan banyaknya jumlah jemaat, ditambah dengan jumlah cabang Gereja yang tersebar di hampir seluruh Indonesia bahkan sampai Manca negara. Tetapi pencapaian kuantitas tersebut tidak seharusnya dijadikan sebagai satu-satunya indikator keberhasilan, tetapi harus mencakup semua aspek pelayanan yang ada. Untuk itulah diperlukan evaluasi yang objektif dan menyeluruh sehingga para pemimpin organisasi bisa menilai posisi yang sebenarnya.
Dengan organisasi yang besar, yang melibatkan banyak sumberdaya manusia, dana, fasilitas dan kecanggihan tekonoligi masa kini, maka wajar bila kita berharap kedepan adanya sebuah terobosan baru terjadi dari  hasil evaluasi tersbut, yang kelak bisa menjawab:
1.      Alasan ketertinggalan dan kemandekan pelayanan salama ini
2.      Menjawab tantangan pelayanan kedepan sesuai perkembangan jaman
3.      Menetapkan Visi Pelayanan jangka panjang
4.    Menjadikan Gereja setia pada tugas utama sesuai dengan  Tri Tugas panggilannya  yakni: Bersaksi, Bersekutu dan Melayani.
5.      Menjadikan Gereja  menjadi pemimpin dalam bidang Oikumene
Sudah selayaknya dan seharusnya Kekristenan di Sumatera Utara menjadi pelopor dalam Tri Tugas panggilan Gereja tersebut dan menjadi pemimpin dalam  bidang Oikumene, mengingat usia Kekristenan kita yang sudah sangat matang dari sisi pengalaman ditambah dengan begitu besar potensi sumber daya manusia yang ada didalamnya.
Harapan harapan yang diungkapkan diatas menjadi tolak ukur bagi penulis untuk mengkritisi kepemimpinan yang ada dalam tubuh Gereja- Gereja bercorak tradisi saat ini baik dalam tataran kepemimpinan pusat sampai pada tataran pemimpin lokal, dan mencoba menelusuri berbagai akar persoalan yang ada  sekaligus memberikan masukan dan koreksi yang sekiranya dapat bermanfaat kedepan.

AKAR  PERSOALAN  DAN  DAMPAK  YG  DITIMBULKANNYA
“Kebanyakan Gereja tidak terlibat dalam perencanaan jangka panjang yang sistematis. Barang kali inilah alasan mengapa Gereja belum mampu menjangkau masyarakat dan mengubah masyarakat dengan lebih efektif. Banyak Gereja yang beroperasi berdasarkann perencanaan yang payah. Mereka mempertimbangkan berbagai masalah yang mendesak dalam setiap pertemuan pengurus tanpa menempatkan masalah-masalah itu dalam perspektif yang tepat dalam kaitannya dengan masa lampau dan masa depan.” (Alvin J. Lindgren)
“Hanya melalui Doa dan penggunaan proses perencanaan Gereja, sebagai sebuah organisasi, dapat secara efektif menunaikan amanat agung yang telah diberikan kepadanya.” (Burus)

Proses Rekruitmen yang ketat
Jelas akar dari semua masalah yang timbul adalah soal kepemimpinan didalam tubuh Gereja suku yang tidak berakar kuat didalam Kristus sehingga terombang-ambing oleh pengaruh  dunia ini. Kalau kita mulai dari hulunya, maka sesungguhnya ada proses rekruitmen yang kurang baik pada awalnya dalam hal seleksi calaon-calon mahasiswa Teologia. Sudah menjadi rahasia umum, dimana orang-orang yang memasuki dunia Perguruan Tinggi, maka Sekolah Teologi adalah pilihan terakhir untuk belajar dari kesempatan yang ada. Hal lain yang mungkin mendasari adalah didorong oleh keadaan ekonomi yang kurang mendukung untuk memasuki Dunia Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta, sehingga memilih Sekolah Teologi sebagai tempat berlabuh, dimana disana ada jaminan penempatan kerja.
Orang Batak adalah orang yang sangat mengutamakan pendidikan. Segala usaha akan dilakukan oleh orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai  ke jenjang pendidikan tinggi, dengan harapan ada jaminan masa depan. Jelas orientasi disini adalah kehidupan duniawi yang bermartabat, terhormat dan sejahtera. Adalah prinsip yang lumrah ditemukan, jika menemukan seorang  anak yang begitu pintar dan berbakat, maka orang tua akan mendorong si anak tersebut untuk menekuni dunia profesional sepeti: HUKUM, TEKNIK, KEDOKTERAN, TENTARA, POLISI, EKONOMI, GURU dll. Dan sebaliknya akan sangat jarang mendapatkan orang tua yang mendorong anaknya untuk menjadi pelayan Tuhan, yang dianggap kurang menjamin kehormatan dan kesejahteraan. Jadi pada umumnya pilihan menjadi hamba Tuhan adalah pilihan terakhir. Hal yang paling mencelakakan adalah ketika menemukan si anak tersebut agak sulit diatur dan cenderung nakal, maka orang tua akan mendorong anak tersebut untuk menjadi hamba Tuhan, dengan harapan disana akan ada PERTOBATAN. Dengan kata lain, anak yang terbaik diberikan kepada dunia, tetapi yang pas-pasan, diberikan kepada Tuhan. Pola pikir seperti inilah  yang menjadi cikal bakal kacaunya pelayanan Gereja, sehingga Gereja tidak bertumbuh dan tidak menghasilkan para pemimpin yang visioner dan tulus untuk melayani Tuhan. Gereja dikelola dan dikontrol oleh orang-orang yang belum tentu  cakap dan terpanggil, tetapi karena pekerjaan semata.  Kita tidak menafikan bahwa pasti ada orang-orang yang terbaik  dan juga terpilih untuk menjadi pelayan Tuhan, tetapi sayangnya mereka menjadi minoritas disana dan pada akhirnya juga tidak bisa maksimal karena sudah dirusak oleh budaya yang salah, system yang kacau dan lingkungan organisasi yang tidak sehat. Padahal Tuhan meminta kepada anak-anakNya supaya memberi dan mempersembahkan yang TERBAIK bagi Tuhan, sebagai persembahan yang hidup dan yang berkenaan kepadaNya.
Rekruitmen para penatua dan majelis Gereja dalam skala lokal juga tidak terlepas dari minimnya kreasi dalam menemukan orang- orang yang tepat dan tulus untuk melayani. Kebanyakan pola rekruitmen dipengaruhi oleh kultur Gereja setempat, dimana orang-orang yang mempunyai pengaruh dari sisi financial dan kedudukan sosial dimasyarakat, menjadi magnet utama dalam hal kesempatan untuk menjadi penatua dan majelis. Faktor Spritual dan Integritas menjadi faktor yang belakangan dalam hal penilaian layak atau tidak layak. Tidak dipungkiri bahwa didaerah – daerah pedesaan, tentu sering kali ditemukan faktor SDM yang sangat minim untuk dipromosikan sebagai majelis/penatua, sehingga terkesan memaksakan siapa saja, yang  penting punya waktu dan mau melayani. Tetapi kalau didaerah perkotaan atau daerah yang sudah relative maju, maka sebenarnya lebih banyak alternative yang bisa dibuat dalam rangka rekruitmen para majelis atau penatua Gereja
Pola rekruitmen seperti yang disebutkan diatas sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun dari generasi ke generasi, sehingga Gereja merasakan dampak lemahnya SDM terutama dalam hal Visi kepemimpinan mulai dari jabatan tertinggi sampai yang paling rendah. Hasilnya adalah dimana pada akhirnya kita akan melihat  hampir semua kegiatan keagamaan yang dilaksanakan, terkesan seremonial  dan berulang-ulang yang hanya berorientasi pada  jumlah program bukan berorientasi pada Visi.
Proses Pembentukan yang gagal
Selain persoalan Rekruitmen, persoalan lain yang mungkin terjadi adalah ketidaksiapan dan ketidakmampuan Sekolah Tinggi Teologi yang menjadi acuan denominasi Gereja, untuk memproses dan memproduksi para calon hamba-hamba Tuhan yang handal, setia, punya visi dan mempunyai nilai-nilai rohani yang unggul dari orang kebanyakan. Pengalaman saya sendiri ketika bergabung dalam organisasi kemahasiswaan di GMKI; dimana saya sempat menjadi pemimpinnya, maka saya biasa mengamati bahwa rekan-rekan mahasiswa yang berasal dari STT, ternyata kehidupan kerohanian dan kehidupan pribadinya tidak jauh berbeda dengan orang orang kebanyakan, bahkan tidak jarang terlihat bahwa kehidupan mereka lebih buruk dari kehidupan mahasiwa sekuler lainnya. Padahal setelah mereka tamat dari STT tersebut, maka mereka langsung menjadi pemimpin umat, dimana umat tersebut datang dari latar belakang yang berbeda-beda, dan beragam profesi. Tidak jarang kita temui bahwa para penatua Gereja  yang notabene juga dipilih bukan karena pengalaman rohaninya, tetapi karena statusnya dimasyarakat, maka mereka ini justru mengambil kendali kehidupan Gereja dan para pendeta tidak bisa berbuat banyak, selain mengikuti kemauan mayoritas dan budaya yang sudah ada.
Siapapun yang menjadi Pemimpin di Gereja haruslah orang yang mempunyai kepemimpinan KUAT, VISI yang jelas, OTORITAS ROHANI yang besar dan sekaligus juga sebagai GEMBALA yang baik bagi domba-dombanya.  Kalau keadaan ideal ini tidak ditemui, maka sulit kita mengharapkan adanya terobosan-terobosan baru dalam pelayanan yang membawa pertumbuhan organisasi dan umatnya kearah yang lebih baik.
Kelas pemuridan yang sudah ditinggalkan
Seiring dengan keadaan diatas, ternyata masih diperparah lagi dengan tidak adanya metode pelatihan yang konsisten kepada para Pendeta, Majelis dan Penatua Gereja yang kiranya dapat meningkatkan kapasitas dan keahlian mereka untuk melayani jemaat. Bisa disebut selain pertemuan rutin/sermon yang dilakukan setiap minggunya, maka hampir tidak ada upaya lain yang sistematis dan berjenjang yang kiranya dapat melatih dan memperlengkapi mereka untuk menutupi kekurangan yang terjadi pada saat  rekruitmen. Hasilnya para pemimpin menjadi miskin kreasi dan ide ketika berhadapan dengan persoalan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Misalnya saja kalau seseorang mengalami konflik ditengah-tengah kelaurganya dan membutuhkan konseling kepada pendeta atau penatua, maka yang terjadi para pemimpin akan kebingungan memberikan solusi yang tepat menjawab persoalan tersebut. Karena tidak mendapat solusi dari Gereja, maka akhirnya mereka mencari jawaban di luar gereja dan pada  akhirnya makin jauh dari hadapan Tuhan.
DANA, SKILL dan OTORITAS ROHANI yang minim
Hal lainnya yang menjadi persoalah kronis dalam tubuh Gereja adalah persoalan DANA. Sering sekali Gereja tidak bisa mandiri dari sisi pendanaan untuk mendukung program-program unggulan. Keuangan Gereja hanya cukup untuk membiayai operasional Gereja dan gaji para pengurusnya. Tetapi keadaan ini tidak berlaku untuk semua Gereja, sebab ada juga Gereja seperti HKBP sudah cukup mampu untuk keluar dari rutinitas organisasi dan juga beberapa Gereja lainnya. Tetapi bila organisasi mempunyai agenda yang berskala besar, dengan kebutuhan dana yang besar, maka sering kali Gereja tidak bisa berbuat apa-apa selain menjadi pengemis kepada aparatur pemerintahan dan para donateur. Mencari dukungan dari pihak luar memang tidak salah, tetapi ketika ketergantungan itu sangat besar dan seakan tidak bisa hidup tanpa mereka, maka sebenarnya Gereja sudah menghianati TuhanNya sebagai pemilik GerejaNya. Kalau kita percaya akan penyertaan Tuhan, dan kita yakin Tuhan berkenan akan GerejaNya, maka sebenarnya kita tidak perlu menjadi pengemis kepada dunia ini, sebab PERTOLONGAN dari DIA adalah sebuah KENISCAYAAN. Tuhan tidak akan mungkin mempermalukan GerejaNya, jika memang GerejaNya sungguh sungguh percaya dan bergantung kepadaNya. Dalam praktek selama ini, Seolah-olah Tuhan Yesus tidak mampu membela sehingga harus membutuhkan uluran tangan dunia ini untuk membantu Dia menegakkan namaNya, padahal kita tau Dialah yang Mahakuasa, Dialah sumber kehidupan. Dunia yang membutuhkan Tuhan, bukan Tuhan yang membutuhkan Dunia ini.
Ketika Gereja mempunyai agenda atau momentum yang berskala besar, maka sering kita lihat bahwa penyelenggaraan moment tersebut diserahkan kepada orang-orang diluar Gereja. Para politisi, para pejabat dan para pengusaha, LSM dan tokoh-tokoh masyarakat menjadi pengurus inti dari kepanitiaan. Kesimpulannya hajatan Tuhan diberikan kepada orang-orang dengan latar belakang pemikiran duniawi. Semua itu terjadi karena Pucuk Pimpinan Gereja merasa tidak berdaya dan tidak yakin dengan kemampuan orang-orang yang ada disekitar internal Gereja yang akan mengorganisir kegiatan tersebut. Karena kegiatan itu membutuhkan DANA yang besar, dimana para pemimpin Gereja berfikir tidak akan mampu memenuhinya. Tentu selain persoalan DANA, hal lain seperti Skill organisasi dan akses publik menjadi pertimbangan selanjutnya para pemimpin untuk melepas momentum itu ke tokoh tokoh publik diatas. Maka jika agenda tersebut dibelokkan menjadi agenda pribadi, maka sebenarnya hal itu sudah bisa diprediksi sejak awal. Maka terjadilah ketika mereka hendak melakukan sosialisasi ke masyarakat, maka sesungguhnya Nama dan Jabatan merekalah yang mereka sosialisasikan, bukan esensi dari kegiatan tersebut.
 Apakah para pimpinan Gereja tidak lagi mempunyai keberanian IMAN yang sungguh-sungguh dan benar-benar bergantung sepenuhnya kepadaNya? Sehingga harus mengantungkan harapannya kepada Dunia ini? Atau apakah para pemimpin Gereja sekarang lebih disibukkan dengan aktivitas pekerjaan Tuhan, sementara Tuhan itu sendiri diabaikan?
Dampak dari berbagai akar persoalan diatas membuat lembaga Gereja menjadi mandul selama bertahun-tahun. Gereja terjebak dalam tradisi yang membelenggu, dan tidak bisa keluar dari lingkaran setan. Bahkan kalau diperhatikan semakin lama semakin dipengaruhi oleh adat istiadat yang berjalan dalam masyarakat.  Sehingga jangankan bisa keluar dari pakem-pakem tradisi, menuju transformasi masyarakat,  bahkan untuk mempertahankan yang sudah adapun begitu kesulitan. Sebagai contoh: Dulunya HKBP memiliki lembaga pendidikan yang diakui kualitasnya seperti SLTP/SLTA HKBP, Univ. HKBP Nommensen tetapi sekarang ini sudah jauh menurun dari segi minat masyarakat karena kualitasnya yang menurun. Belum lagi dahulu HKBP mempunyai RS. HKBP BALIGE yang tersohor, tetapi sekarang sudah ditinggalkan oleh masyarakat, karena kualitasnya yang buruk. Lebih jauh dampaknya dalam kehidupan jemaat adalah kualitas persekutuan keluarga yang dulu begitu kuat ditangah-tengah jemaat, tetapi sekarang sudah hampir hilang ditelah jaman yang pada akhirnya berdampak pada kualitas kerohanian dan keteguhan iman dari jemaat itu sendiri. Begitu mudahnya kita menemukan dewasa ini, bila salah satu bahkan lebih dari keluarga Kristen sudah ada yang menjadi MUALAF  dan itu jumlahnya bisa mencapai ratusan keluarga. Bahkan saya sendiri biasa melihat justru dari keluarga pendeta dan para majelis terdapat anak-anak yang murtad oleh karena dangkalnya iman yang dimiliki.
Dampak lain yang bisa kita lihat sekarang ini adalah kurangnya respek jemaat kepada para Penatua Gereja, Pendeta bahkan kepada pucuk pimpinan tertinggi, karena para pemimpin sudah kehilangan orientasi yang benar dan terlalu sibuk dengan agenda masing-masing serta sudah meninggalkan pola penggembalaan jemaat yang  benar dan harmonis.  

BANGSA BATAK ADALAH BANGSA YG BERHUTANG
Sangat dibutuhkan para pemimpin yang mempunyai VISI yang besar untuk melakukan gerakan pemurnian Pelayanan Gereja saat ini, membawa perubahan paradigma melayani dari sekedar aktivitas organisasi kepada sebuah pencapaian sasaran VISI yang besar seperti TRANSFORMASI KEHIDUPAN MASYARAKAT.
 Bangsa Korea baru mengenal Kekristenan kira-kira pertengahan abad ke 20, jauh sesudah Orang Batak mengenal Kekeristenan, tetapi bangsa Korea sekarang ini tumbuh menjadi bangsa yang mengalami TRASFORMASI di segala lini kehidupan masyarakat, akhirnya membawa mereka menjadi bangsa yang MAJU dan menjadi salah satu  pemimpin dalam bidang Teknologi, Industri dan Budaya. Bahkan mereka telah membayar HUTANG PELAYANAN dengan menjadikan Gereja dan kelompok masyarakat disana menjadi pengirim Utusan INJIL terbesar didunia setelah AS, sehingga oleh kehadiran mereka, maka mereka dapat mewarnai dunia ini.
Bagaimana dengan Gereja kita dan Jemaat yang bernaung didalamnya, apakah kita masih disubukkan dengan persoalan exsistensi semata, masih terikat dengan adat istiadat yang membelenggu kita atau kita berani keluar dari pakem-pakem tradisi kita, supaya kita mengalami TRASFORMASI sehingga kita sanggup membayar HUTANG kita kepada bangsa-bangsa? Kita sudah sangat terlambat, tetapi kita tidak bisa terus berdiam diri, kita harus bangkit dan menjadi GARAM dan TERANG bagi dunia ini.
Syalom… Tuhan Yesus Memberkati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar